Review Ave Maryam
sumber: layar.id |
Tadi siang, gue nonton Ave Maryam di XXI. Sebenernya gue udah denger tentang film ini sejak awal-awal, tapi belum berkesempatan buat nonton di screening film-film. Minggu kemarin lihat di twitter, katanya tanggal 11 April udah tayang di beberapa bioskop. Memang nggak semua bioskop, bahkan menurut gue ini dapet jatahnya cukup sedikit. Di CGV pun cuma ada di AEON JGC buat daerah Jakarta.
Oke, sekarang gue mulai dengan pembahasan soal Ave Maryam ya.
Ave Maryam dibintangi oleh Maudy Koesnaedi dan Chicco Jerikho. Singkatnya, film ini menceritakan tentang seorang biarawati yang jatuh cinta dengan pastor (romo) yang baru datang untuk mengabdi di gerejanya. Nah, masalahnya adalah, biarawati dan pastor harus hidup selibat, artinya nggak boleh menikah, tapi bagaimana dengan perasaan mereka? Bagaimana dengan idealisme yang selama ini mereka pegang?
Sepertinya belum ada film Indonesia yang membahas topik ini. Oh ya, perlu diingat kalo review ini adalah pendapat pribadi gue. Jadi, apa yang menurut gue menarik belum tentu menurut kalian menarik juga, oke?
Film ini dimulai dengan latar tempat di rumah untuk para suster yang sudah lanjut usia di Semarang. Maudy, dalam film ini berperan menjadi Suster Maryam, adalah salah satu suster yang bertugas di rumah itu bersama dengan suster-suster lainnya. Tugasnya adalah merawat suster-suster dan membantu gereja. Alur di bagian ini cukup lambat dan hanya menjelaskan seputar kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Suster Maryam.
Beberapa hari kemudian, di tengah hujan, datanglah Romo Yosef (Chicco) bersama Suster Monik. Suster Monik adalah seseorang yang susah diajak berbicara, dan hanya mau diajak ngobrol oleh Romo Yosef. Meskipun pada awalnya gue kira Suster Monik nggak punya peran penting, ternyata beliau jadi salah satu peran yang dapet kesancukup dalam menurut gue.
Salah satu kutipan dari Suster Monik yang bikin gue rasanya nyes adalah,
“Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku,"
Di bagian ini, alur penceritaan mulai dipercepat. Pembicaraan ini berlangsung setelah hubungan antara Suster Maryam dan Romo Yosef semakin jauh dan dalam. Lalu, terjadi sesuatu yang mereka sesali dan membuat mereka bingung: mengikuti janji pada Tuhan atau mengejar kebahagiaan?
Adegan-adegan terakhir adalah yang membuat gue nangis banget. Gue nggak relate sih, tapi cara Suster Maryam dan Romo Yosef mengungkapkan perasaannya tuh, bikin nyesek. Air mata gue kayak diperes-peres.
Film ini berakhir tanpa ada penjelasan yang spesifik tentang apa yang terjadi di antara mereka berdua selanjutnya. Buat gue, open endingseperti ini cukup menarik sih. Penonton bebas mau menginterpretasi ending-nya seperti apa.
Seperti berita yang sudah beredar, ya, film ini kena sensor sama LSF. Yang kena sensor itu, bagian di pantai. Gue nggak pernah nonton aslinya, jadi gue nggak tahu bagian pantai tuh apa. Nge-cut-nya agak kasar, jadi gue langsung ngeh. Huhuhu, sayang sekali.
Mengenai akting di film ini, menurut gue Maudy patut dikasih empat jempol. SUGOOOOI. Kalo kata orang, matanya berbicara banget. Perasaan yang dibawa sama Suster Maryam tuh ngena banget ke penonton. Chicco masih agak maksa, jadi gantung aktingnya. Tapi, kedua pemeran ini chemistrynya oke banget. Ini salah satu film Indonesia yang bakal gue tonton ulang sih kalau misalnya ada screening lagi.
Untuk mengakhiri review ini, gue cuma mau bilang: film ini gue rekomendasikan buat ditonton sendiri, biar lebih ‘dalem’ gitu nontonnya.
Comments
Post a Comment